Jumat, 06 Januari 2012

Penjualan Opium di Pulau Jawa Membuat Belanda Semakin Kaya sekitar akhir abad ke 19








Opium, dalam pikiran kita tertuju pada salah satu jenis zat psikotropika, dimana zat itu sangat merusak otak. Zat biasanya juga di sebut dengan Candu, alat penghisapnya kita sering dengar istilah bong. Opium yang di hisap adalah getahnya, yang di ambil dari bunganya yang berbentuk bulat. Kemudian di olah tergantung bagaimana pengolahan opium itu sendiri.
Untuk hasil dari pengolahan opium, ketika opium di olah dengan biasa akan menghasilkan candu. Tetapi ketika di saring lagi akan menghasilkan morfin dan semakin halus lagi pengolahanya maka akan menghasilkan Heroin. Di sisi saya akan menyoroti Opium yang di olah menjadi candu, yang melanda masyarakat jawa terutama di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20.
Untuk wilayah pulau jawa terutama di kalangan para guru kebatinan di pulau jawa penggunaan candu istilahnya adalah nyerat. Dengan alat penghisap kemudian candu tadi yang sebesar biji kedelai di bakar untuk di hisap asapnya. Dan di situlah kalau orang-orang bilang kenikmatan nyerat ada menghisap candu.
Di sini saya akan mencoba menjelaskan berapa banyak uang yang berputar di ranah percanduan di tanah jawa. Berikut perputaranya, di mulai dari India yang menghasilkan opium di waktu itu, kemudian inggris memasarkan ke Sebagian China dan belanda juga membeli opium dari India untuk di jual ke pulau jawa. Di pulau jawa candu di lelang oleh orang belanda kemudian di beli oleh orang asing timur, terutama orang-orang china sehingga bisa di katakan bahwa penjual dari opium secara langsung ke orang jawa adalah orang china, tetapi pemasoknya adalah orang Belanda. Dan ini bisa di katakan sebagai bentuk dari penjajahan baru.
Menurut J Rush bahwa pengguna opium di pulau jawa adalah 1 dari 20 orang jawa pada saat itu, hal tersebut berdasarkan wawancara atas bekas pejabat karsidenan wilayah juana.(kantornya di kota Pati) dan kenapa menyorot juana. Karena juana pada saat itu merupakan pelabuhan penting dimana tempat itu merupakan daerah yang paling bebas di masa itu. Karena daerah lain juga kurang strategis dalam hal perdagangan dan penyelundupan yang di lakukan oleh pihak pemerintah belanda pada saat itu. Karena kalau pemerintah di ketahui otak dari penjualan candu, maka akan di pastikan terjadi pemberontakan di daerah jawa terutama jawa barat yang mayoritas basis Islam Pesisir.
Kemudian dari sumber Buku orang Orang China Khek dari Singkawang (Disertasi Hari Poerwanto) bahwa jumlah penduduk pulau jawa pada akhir abad ke 19 sekitar 28-30 jt an, di tambah yang belum termuat jadi saya membulatkan 30 jt penduduk untuk mempermudah nanti dalam perhitunganya. Dimana jumlah orang belanda sekitar 26 ribu yang berada di pulau jawa dan orang china sekitar 200 rb. Dari situ kita bisa melihat dari 26 ribu orang bisa menguasai pulau jawa yang berjumlah kurang lebih 30 jt jiwa pribumi.
Kemudian dari informasi Sang Naturalis Alfred Russel Wallace, di buku Kepulauan Nusantara menjelaskan semakin ke timur dari Pulau Jawa penggunaan Candu juga semakin bebas, terutama di wilayah yang sekarang perbatasan jawa tengah dan jawa timur, oleh sebab itu hal itu menguatkan tulisan J Rush di mana Pelabuhan Juana merupakan pelabuhan penting dari perdagangan Candu. Karena persebaran ke arah selatan dari Juana merupakan daerah Perbatasan Jawa tengan dan Jawa timur. Hal itu juga atas dasar fakta daerah pahariangan ada pelarangan penggunaan Candu tetapi di awal abad 20 nanti daerah itu di hapuskan pelarangan dari pemakaian Candu.
Pada 1677, Kompeni Hindia Timur Belanda (VOC) memenangkan persaingan ini. Kompeni berhasil memaksa Raja Mataram, Amangkurat II, menandatangani sebuah perjanjian yang menentukan. Isi perjanjian itu adalah: Raja Mataram memberikan hak monopoli kepada Kompeni untuk memperdagangkan opium di wilayah kerajaannya.
SETAHUN kemudian, Kerajaan Cirebon juga menyepakati perjanjian serupa. Inilah tonggak awal monopoli opium Belanda di Pulau Jawa. Hanya dalam tempo dua tahun, lalu lintas perdagangan opium meningkat dua kali lipat. Rata-rata setiap tahun, 56 ton opium mentah masuk ke Jawa secara resmi. Tetapi, opium yang masuk sebagai barang selundupan bisa dua kali lipat dari jumlah impor resmi itu.
Pada awal 1800, peredaran opium sudah menjamur di seluruh pesisir utara Jawa, dari Batavia hingga ke Tuban, Gresik, Surabaya di Jawa Timur, bahkan Pulau Madura. Di pedalaman Jawa, opium menyusup sampai ke desa-desa di seantero wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Di Yogyakarta saja terdapat 372 tempat penjualan opium.
Di kalangan kaum bangsawan, opium bahkan memberikan corak tertentu pada gaya hidup yang sedang berkembang. Opium dipandang sebagai peranti keramah-tamahan dalam kehidupan bermasyarakat. Di pesta-pesta kalangan atas, jamak belaka jika para tetamu pria disuguhi opium. Bahkan, menurut sebuah laporan, para prajurit Pangeran Diponegoro, selama Perang Jawa berlangsung, banyak yang jatuh sakit ketika pasokan opium terganggu.
Permukiman Cina, yang semula hanya terpusat di sepanjang pesisir utara, pada pertengahan abad ke-19 mulai menyebar ke kota-kota pedalaman Jawa. Bahkan, justru kawasan pedalaman inilah yang kemudian berkembang menjadi lahan subur bagi para bandar opium. Pasar opium paling ramai terletak di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bandar opium Surakarta, misalnya, bersama wilayah Keresidenan Kediri dan Madiun, Jawa Timur, selalu menghasilkan pajak opium tertinggi bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Sejak awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20, kawasan itu juga mencatat rekor jumlah pengguna opium, dibandingkan dengan wilayah mana pun di Pulau Jawa.
Peringkat kedua diduduki oleh penduduk yang bermukim di wilayah pesisir: Semarang, Rembang, hingga Surabaya. Tapi, di peringkat yang sama juga tercatat kawasan pedalaman Yogyakarta, dan wilayah Keresidenan Kedu. Kemudian disusul wilayah Batavia, hingga pantai utara bagian timur, Rembang, Tuban, Besuki, Pasuruan, Probolinggo, Madura, juga pedalaman Ponorogo.(James Rush)
Candu sendiri di pulau jawa sebenarnya di perdagangkan karena Belanda melihat Inggris menjual candu laku sangat keras di cina sehingga Inggris memperoleh keuntungan yang sangat banyak. Dan setelah tahu inggris memperjual belikan di china, yang tadinya penjualan candu di Pulau jawa masih rendah, dan setelah melihat apa yang di lakukan inggris maka Belanda meniru sistem yang di pakai Inggris dan di terapkan di pulau jawa. Sehingga perdagangan Candu terbesar belanda di pulau jawa.
Di lihat dari sebelumnya akhir abad ke 19 perdagangan belanda semakin di gencarkan. Hal ini berdasarkan di bukanya perdagangan candu di wilayah sekitar pahariyangan yang tadinya di tutup. Kalau kita mau mengkaji sebelumnya kita bisa mengetahui bahwa sengaja opium di gencarkan pasca tanam paksa di hentikan sehingga belanda harus mencari alternatif pengganti keuntunganya dari tanam paksa, salah satunya perdagangan Opium dengan menggunakan tangan para pedagang China.
Berikut penjumlahan akumulasi berdasarkan analisis saya, untuk pendapatan kotor perdagangan opium di pulau jawa. Dan juga uang yang berputar di ranah perdagangan Opium di pulau jawa.
Jumlah Penduduk pada akhir abad 19 sekitar 30 jt berdasarkan Disertasi Hari Poerwanto (termasuk orang China dan Belanda.)
Kemudian data tentang penggunaan Opium orang jawa dari sumber J Rush dari Pejabat Karsidenan Juana tentang perkiraan jumlah pengguna(berdasarkan hasil keluar masuknya Candu di pusat perdagangan Candu Yaitu pelabuhan Juana) sekitar 1 dari 20 orang jawa adalah pengguna Candu artinya 5 % dari jumlah penduduk jawa waktu itu pengguna.
Kemudian hasil dari penelitian J Rush setiap orang jawa dari golongan kere, 5% dari yang tadi menggunakan upah sebanyak 5 sen untuk pembelian opium di setiap harinya. Dan itu baru dari golongan orang miskin.
Untuk nilai sen di masa itu, saya menyempatkan konsultasi dengan pengajar Sejarah Mas Abdurrahman kalau nilai dari 1 Gulden adalah 100 sen.
Nah berikutnya saya akan mengakumulasikan dari semua data di atas.
Jadi : (((5 sen x 365(hasil hari dari satu tahun))) x ((5%(jumlah pengguna Opium) x 30 jt(jumlah penduduk waktu itu))) terus hasilnya di jadikan gulden.
5 x 365 x 1/20 x 30jt kemudian di bagi 100(untuk di jadikan ke gulden)
Dan hasilnya adalah angka yang sangat fantastis
2.737.500.000 sen dan di jadikan gulden berarti di bagi 100 maka hasilnya 27.375.000 gulden. Nah angka tersebut yang membuat saya sendiri terbengong-bengong, betapa tidak, korupsi seorang Cokro dengan beli mobil organisasi senilai 2000 gulden kemudian di jual seharga 3000 gulden(1000) gulden untung. Sedangkan lainya penilepan uang oleh gunawan di masa Sarekat Islam senilai 60.000 gulden itu sudah sangat banyak sekali. Berarti dalam satu tahun perputaran uang kotor Candu di Pulau jawa itu benar-benar banyak.

Selain itu bandingkan saja, penghasilan rakyat biasa saat itu, setiap orang sehari menghasilkan 20 sen, artinya dari 20 satu perempatnya (5 sen) di gunakan untuk membeli candu. Sisanya untuk makan. Bahkan sampai saat ini pun kita mengetahuinya hal itu seperti rokok. Setiap penghasilan orang sebanyak 20000, setidaknya 5000 buat di belikan rokok. Dari sini kita bisa melihat sendiri, kita bandingkan 1 sen= 100 rupiah

Era tanam paksa memang berhasil, tetapi dalam perdagangan opium ini belanda benar-benar sangat di untungkan. Di samping itu Candu sendiri sebenarnya sudah ada sejak akhir abad ke 17, dimana VOC sendiri mulai memasok dari India, ketika sultan agung turun tahkta, di gantikan oleh anaknya amangkurat 1 dan di lanjutkan ke amangkurat ke 2, dari mulai amangkurat berkuasa, saat itulah awal-awal Opium banyak di konsumsi oleh kaum bangsawan. Dan hal tersebut tak lepas dari budaya para guru-guru kebatinan di kerajaan mataram hingga masa kasunanan dan kesultanan, yaitu budaya nyerat.
Walaupun Candu sendiri di sukai oleh sebagian orang jawa, sempat juga candu juga berpengaruh terhadap jalanya perang di berbagai belahan nusantara, salah satu perang terbesar karena candu itu sendiri adalah perang anatar kaum adat dan kaum padri di daerah bonjol, yang memunculkan tokoh Imam Bonjol, dimana ia mendukung kaum Padri untuk memerangi kaum Adat yang menggunakan candu.(karena kaum Padri memiliki basis islam yang kuat, sehingga seperti yang yang saya jelaskan di atas, apabila belanda secara terang-terangan menjual Candu maka akan terjadi peperangan, oleh sebab itu belanda harus melalui tangan china, dengan arti menghindari pemberontakan yang lebih dari kaum islam pesisir.)
Dan berikutnya candu juga berpengaruh terhadap perang Jawa, lebih tepatnya perang diponegoro. Dimana pada saat perang berlangsung pasukan diponegoro banyak yang berjatuhan sakit, karena sumber opium yang ada waktu itu pasokanya di putus oleh belanda. Di samping itu peredaran opium jenis yang lebih baik dan lebih mahal tersebar atas para pedagang china, pejabat pemerintahan, dan para bangsawan. Jadi opium atau candu ini tak hanya tersebar di kalangan rakyat jelata.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah perang-perang berakhir, belanda mengembangkan sistem baru karena keuangan yang habis, akibat dari perang jawa dan perang padri mau tidak mau belanda harus mencari sumber dana lagi. Kemudian munculah kebijakan tanam paksa di masa gubernur jendral Van D Bosch. Tetapi di waktu itu perdagangan opium masih di katakan normal belum ada kenaikan secara signifikan. Jadi saya menyimpulkan untuk kuota dari opium sendiri masih tetap.
Berikutnya di akhir abad ke 19, dimana sistem tanam paksa mulai di hapuskan. Dan saat itulah belanda mulai menggencarkan perdagangan Candunya, karena sistem tanam paksa telah di hapuskan. Dan mulailah di buka perdagangan daerah jawa barat, terutama yang dulunya di tutup yaitu sekitar bandung dan banten. Di sampaing itu juga belanda mulai merombak habis-habisan sistem perdagangan Opium itu sendiri, di mana yang tadinya simpul-simpul perdagangan opium di pegang oleh orang China dalam masa berikutnya belanda mengambil alih sendiri. Yang artinya keuntunganya langsung ke belanda.

Beberapa pabrik besar candu itu sendiri. Setelah dimasa politik etis, terdapat di batavia hal ini sekaligus membuat belanda semakin terlihat memonopoli Candu. Karena suplai-suplai ke daerah menjadi sangat cepat, terutama daerah Bandung dan sekitar yang sebelumnya menutup diri terhadap Opium.
Begitu kebijakan itu berlangsung, langsung semakin jelas bagaimana peran belanda dalam mengendalikan peredaran opium. Bandarpbandar besar cina di bayar, polisi khusus candu di bentuk, penangkapan penjual candu gelap dan pengketatan-pengketatan lainya.
Mulai menurunya minat candu ketika mulai pergerakan nasional. Ketika candu di perbolehkan. Semakin banyak candu yang beredar, apalagi dengan harga nurah. Dengan begiu belanda mengalami kerugian ketika penjualan akhir candu. Dan belanda mulai menarik perdagangan candu. Sehingga dengan sendirinya candu mulai hilang berangsur-angsur dari masyarakat di P Jawa. Initinya hukum ekonomipun berlaku dalam perdagangan candu. Sebelum politik etis harga candu masih sangat mahal, karena langkanya barang itu dan sebagian besar masyarakat Islam tidak menyukai. Tetapi setelah akhir politik etis terlihat candu banyak beredar di pasaran sehingga harganya pun jatuh.
Walaupun opium telah menurun penggunaanya tetapi pada tahun-tahun sesudah Politik etis, tetapi di tahun-tahun sebelumnya, belanda telah mendapatkan keuntungan yang sangat besar.



Sumber
Rush, James.R, “Opium To Java, Jawa Dalam Cengkeraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910” Penerjemah E.Setiyawati Alkhatab, Yogyakarta: Mata Bangsa, Sep-2000
Poerwanto Hari, “Orang China Khek dari Singkawang” Depok: Komunitas Bambu April, 2005
Wallace, Alferd Russel, “Kepulauan Nusantara, Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam” Jakarta: Komunitas Bambu, 2009
Notosusanto, Nugroho dan Poesponegoro D.M, “Sejarah Nasional Indonesia 4” , Jakarta: Balai Pustaka, 1990
Notosusanto, Nugroho dan Poesponegoro D.M, “Sejarah Nasional Indonesia 5”
Ricklefs M.C,”Sejarah Indonesia Modern 1200-2008” Terj. Tim Penerjemah Serambi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008

Nama : Muhammad Zalaluddin Sofan Fitri
NPM : 1106057084
Fakultas : FIB
Jurusan : Sejarah

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

 

blogger templates | Make Money Online